Baca Juga
Di dalam pesawat Kalstar, rute Bandung Semarang, 23 Nov’16, saya lirik koran yang dibaca orang sebelah. Judul headline provokatif: “Safari Politik”. Pikiran saya langsung berkecamuk. Siapa yang buat “ulah”, siapa yang kena “tulah”.
“Akibat nila setitik, rusak susu sebelanga”. Agaknya pamoe ini pas gambarkan gonjang ganjing negeri ini. Demo bakal berlanjut 2 Des’16, disingkat 212.
Hal itu ingatkan pada dua hal. Pertama itu nomor Pendekar Wirosableng. Kedua, ingatkan wawancara Ahok: “Karena banyak Jakarta tak butuh orang pintar. Jakarta butuh orang gila”. Sableng dan gila, klop.
Maka, karena nila setitik, demo berbuah “safari politik”. Sebagai Presiden, Jokowi belum benahi asal nilanya. Jokowi justru safari jumpai para pihak untuk soliditas kabinet. “Mulutku harimauku” kini telah jadi soal bangsa.
Safari politik jelaskan tiga tataran politik. Ke-1 politik praktis. Cirinya buat partai, cari masa, dan duduk struktural di partai.
Kedua, high politic. Begitu jadi pejabat, berhati-hatilah. Sebab sebagai petinggi, menguap pun bisa jadi kebijakan.
Dan ketiga, hidden politic. Politik tersembunyi, beyond. Ciri musti sanggup pahami inti soal bangsa. Inilah yang tak mudah.
Sebagai presiden, Jokowi memang sudah melakukan dua hal politik praktis dan high politic. Blusukan ke pelosok kampung, memang wujud hidden politic-nya Jokowi. Cuma berkait dengan nila setitik, blusukan ala Jokowi bisa tertumbur-tumbur.
Mengapa di ujung mandul? Sederhana jawabnya. Saat yang terlapor orang dekat, banyak pemimpin gagap. Saat yang terlapor orang jauh, segera bertindak. Inilah sikap atasan. Bukan pemimpin. Harapan kita Jokowi adalah pemimpin, bukan atasan.
Soal blusukan politik, sebenarnya harapan warga kampung simple alias sederhana saja. Hidup tenang, adil, sandang pangan pun murah. Semua diserahkan pada pemimpin. Jadi blusukan ke kampung mudah. Kampung mana yang tak suka diblusuki pemimpinnya. Terbukti tangan pemimpin manapun, lahap dikecupi warga. Padahal reputasinya, alamaaaaaak?
Sedang blusukan ke jajaran kabinet dan lembaga politik penuh lekak-lekuk. Pertama, lembaga politik tak netral. Pemerintah sebagai terminal, tampung segala kepentingan. Karenanya yang kedua, datangnya Jokowi bisa jadi “dagangan politik”. Padahal temui mereka cuma ihtiar padamkan asap.
“Blusukan politik” ini bukan hanya buat pening. Jokowi tersandera, bangsa taruhannya.
Nah, dalam konteks “nila politik” inilah terselip pertanyaan: Mengapa Jusuf Kalla (JK) tak dilibatkan? JK dikenal taktisnya. Simak saja satu pesannya: “Semua hal di Indonesia bisa dibicarakan kecuali hal-hal penting”. Kereeen kan! Sebagai “teman politik”, mustinya JK tak kagok bisikan kata bijak itu.
Simak pepatah berikut: “Anak buah hanya ikut-ikutan bicara. Sedang manajer selalu ingin tahu semua hal. Sementara pemimpin tak perlu tahu semua hal. Pemimpin hanya harus tahu, mana hal yang paling menentukan nasib bangsa”.
Terkait konteks politik, jelas memang tak satupun orang yang tak punya masalah. Maka tiap pihak jangan tambah masalah. “Nila politik” telah membakar. Ruyakkannya tektonik, menggoyang Indonesia. Beberapa kepala daerah mulai resah. Pro dan kontra, sesuaikan diri rapatkan barisan.
Blusukan terbagi dua, “blusukan sejati” dan “blusukan politik”. Niat “blusukan sejati” cari kebenaran. Sedang “blusukan politik”, apa yang dicari di politisi? Dukungan politisi cuma kentalkan “tak ada kawan dan lawan abadi. Yang adalah kepentingan abadi”.
Meski Jokowi dikelilingi orang banyak, sesungguhnya presiden dan kepala negara itu terasing dalam keriuhan. Masukkan telah digenggam. Lantas?
Kini kebijakan ada di Jokowi sendiri. Jokowi memang sedang diuji. Dalam kondisi kritis ini, DNA Jokowi akan ungkap dirinya pemimpin sejati, atau…?
Surat Terbuka Untuk Jokowi Dari Pendiri Dompet Dhuafa
4/
5
Oleh
Unknown